Sabtu, 22 Agustus 2009

Aku dan Jantung Kehidupanku: Kita Hanyalah Boneka Yang Dimainkan Tangan Sang Takdir

Sebuah kisah telah tertulis dengan apik di Lauhul Mahfudz. Tentang seorang gadis sembilan belas tahun dan ibunya yang 36 kali lebih tua. Aku tak mampu menguraikan kisah mereka sebaik Sang Penulis Yang Maha Agung. Hanya Dia yang mampu menjelaskan karakter para lakon, setting, alur cerita, sampai endingnya.

Yang kutahu, dalam kamar kos berukuran dua kali tiga meter, mereka saling menguatkan dan berbagi cinta. Jika ada orang yang penasaran atau merasa simpati dengan pilihan hidup mereka yang terasa ganjil. Mereka akan tersenyum sebelum berusaha menjelaskan dengan singkat dan tetap membuat semua pertanyaan menggantung. Pada akhirnya orang-orang yang bertanya itu hanya akan mengangguk setelah mengernyitkan dahi.

Yang kutahu pula, Biskuat telah menjadi teman setia mereka. Di pagi hari segelas teh berdua dan delapan keping biskuat yang juga dibagi dua bisa menjadi sarapan yang lezat. Kalau kiriman uang dari putra sulung si Ibu sudah sampai, mereka berdua bisa sarapan nasi dan tempe goreng. Namun kiriman itu tak selancar yang diharapkan. Penghasilan PNS golongan dua bisa dibilang pas-pasan, apalagi bila ia tinggal di Indonesia bagian Timur.

Apakah selamanya kebahagiaan bisa dibeli dengan uang yang melimpah? Saat itu aku berfikir, ya. Pastinya jika mereka punya banyak uang, mereka bisa membeli –minimal mengontrak- sebuah rumah yang layak, tidak perlu sampai dipandang rendah karena ngekos sekamar berdua. Dengan uang yang banyak, mereka bisa beli tempat tidur yang cukup besar, tidak perlu berhimpitan dalam dipan kecil itu tiap malam. Hanya dengan uang juga mereka bisa sarapan roti isi selai coklat dan keju, minum segelas susu dan kopi moccacino. Uang!!! Ya, dengan uang yang banyak lah, si Ibu tak perlu lagi mencatat sebanyak itu.

Aku sampai pusing menyaksikan deretan tanggal, rupiah dan kata-kata ‘nasi sayur tempe, nasi sayur bakwan’ sebanyak itu. Si Ibu tiap hari selalu membuat catatan makan siang dan makan malam. Tentu saja catatan itu perlu dibuat, karena tiap kali makan, mereka berdua tak langsung membayar. Sudah kukatakan tadi bahwa kiriman uang tidak lah lancar, sementara perut tak bisa menunggu. Jadi segera setelah kiriman datang, mereka mencoret catatan-catatan itu. Itu berarti uang kiriman habis, dan esoknya mereka membuat catatan baru. Benar-benar merepotkan.

Mereka berdua gigih mengumpulkan receh demi receh. Sampai tiba suatu hari di mana si Anak gadis pulang dengan berseri-seri, buru-buru masuk ke kamar kosnya dan berbisik pada Bundanya, “Aku punya hadiah buat Ibu”. Sebuah barang mewah pun dikeluarkan oleh si Anak dari kresek hitam. Si Ibu tertawa-tawa bahagia karena benda yang selama ini diinginkannya sekarang ada di depan mata. Sebuah Teko Pemanas Air itu dipegang dan diangkat dengan hati-hati oleh si Ibu. Diperiksanya dengan teliti tiap inci teko itu, layaknya kolektor barang antik yang menyeleksi sebuah guci kuno.

“Ayo, kita coba” katanya setelah puas memeriksa ‘mainan’ barunya. Ditutupnya gorden kamar, diletakkannya teko itu di meja, lalu diisinya dengan air putih yang masih tersisa dari botol aqua. Teko itu lalu mengeluarkan suara mendesis saat kabelnya dicoblos ke dalam stop kontak. “Horeeee!” teriak mereka berdua bersamaan.

Pemanas air itu memang telah lama mereka perhitungkan sebagai ‘barang yang harus dibeli’ mengingat ibu kos bukanlah seorang yang dengan murah hati memberikan air putih secara cuma-cuma buat mereka berdua. Bisa memasak air dan membuat teh sendiri tentunya akan sedikit mengurangi anggaran belanja mereka.

Setelah puas mencoba, si ibu menyimpan teko itu dengan rapi dalam lemari. Pastinya ibu kos tidak boleh tahu. Kalau ketahuan, bu Kos pasti langsung memperhitungkan biaya listrik tambahan. Bukannya hemat, malah tambah melarat dong.

Bagaimana dengan airnya?Tentunya kalau ibu kos sedang tidak ada di rumah, baru mereka mengambil air dari keran di samping kamar. Lagi-lagi, kalau ketahuan bu Kos, urusan bakal runyam.

Yah, begitulah. Mereka berdua hidup di tengah keterbatasan yang semakin meyakinkan aku bahwa uang yang banyak lah yang bisa membebaskan mereka. Namun, Sang Penulis telah menyusun ratusan episode untuk mereka lakonkan. Benarlah jika Kahlil Gibran mengatakan “Kita adalah boneka yang dimainkan oleh tangan-tangan Sang Takdir”.

Mereka adalah boneka-boneka itu. Boneka yang berwujud gadis sembilan belas tahun itu adalah aku sendiri.



Tidak ada komentar: